Rabu, 11 Juni 2014

Ilmu Pragmatik


KESANTUNAN BERBAHASA MELALUI PRAGMATIK TUTURAN IMPERATIF
LUH JUNI SUSANTI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
Abstrak
Pengguna bahasa saat ini sering kali mengabaikan dan nampaknya kurang memerhatikan etika berbahasa, padahal kenyataanya hal tersebut sangat memengaruhi sifat, keadaan, dan maksud serta makna tuturan dari pihak penutur dan petutur tersebut. Kesantunan berbahasa menjadi suatu hal yang penting untuk dibahas berkaitan dengan fenomena di masyarakat Indonesia. Kesantunan berbahasa berkaitan dengan pragmatik tuturan. Dalam kajian pragmatik, data kebahasaan perlu mempertimbangkan dimensi tempat dan waktu sebab kedua dimensi tersebut sangat berhubungan dengan maksud-maksud penutur dalam menuturkan entitas kebahasaan tertentu. Kesantunan berbahasa dalam tindak tutur sangat memiliki kedudukan yang utama dan penting dalam berkomunikasi karena kepribadian seseorang akan tercermin melalui bahasa yang diujarkan.  Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang dapat beretika dalam berbahasa, yakni konteks situasi, sosial, dan budaya. Makna pragmatik imperatif banyak diungkapkan dalam tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Jadi, kesantunan berbahasa melalui pragmatik tuturan imperatif sangat diperlukan. Semakin tidak langsung suatu ujaran disampaikan, maka semakin  tinggi kesantunan berbahasa orang tersebut.

Kata kunci: Kesantunan, bahasa, pragmatik.  
Abstract
            Nowadays, the language users often ignore and seem less attentive of the language etics; even in fact those things really influence characteristics, condition and aims as well as expression meaning from the speakers and listeners. The language politeness becomes an important thing to be discussed related to phenomenon in Indonesia country. The language politeness is related to expression pragmatic, in the pragmatic discussion, the language data need to consider place and time dimension since both of them really related to the aims of the speakers in speaking the language entity. The language politeness in speaking action really has main position and important in communication because one personality will be symbolized through the spoken language. The factors which can influence how one can act etics in the language are situation, social and culture. The imperative pragmatic meaning is mostly expressed in declarative and interrogative. So, the language politeness through descendant imperative and interrogative is really needed. The higher of direct speech is expressed, so the higher is one language politeness.
Keywords: politeness, language, pragmatic.
PENDAHULUAN
Dalam kajian pragmatik data kebahasaan perlu adanya mempertimbangkan dimensi tempat dan  dimensi waktu sebab kedua dimensi tersebut sangat berhubungan dengan maksud-maksud penutur dalam menuturkan entitas kebahasaan tertentu. Selain memperhitungkan, memerhatikan, dan mempertimbangkan balutan-balutan konteks yang melingkupi dan mewadahi entitas kebahasaan tersebut maka penutur juga perlu memperhatikan kesantunan berbahasa karena hal ini sifatnya resiprokal. Kesantuntan berbahasa merupakan etika  seseorang ketika berkomunikasi dengan saksama. Rahardi (2012: 134) mengatakan “makna pragmatik imperatif di dalam bahasa Indonesia dapat diwujudkan dengan tuturan yang bermacam-macam. Makna pragmatik imperatif, itu kebanyakan tidak diwujudkan dengan tuturan imperatif melainkan dengan tuturan nonimperatif. Makna pragmatik imperatif diungkapkan dalam tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Penggunaan tuturan nonimperatif untuk menyatakan makna pragmatik imperatif itu biasanya mengandung unsur ketidaklangsungan”. Dengan demikian, dalam tuturan-tuturan nonimperatif itu terkandung aspek kesantunan pragmatik imperatif. Pengguna bahasa saat ini sering kali mengabaikan dan nampaknya kurang memerhatikan etika berbahasa, padahal kenyataanya  hal tersebut sangat memengaruhi sifat, keadaan, dan maksud serta makna tuturan dari pihak penutur dan petutur tersebut. Kesantunan berbahasa menjadi suatu hal yang penting untuk dibahas berkaitan dengan fenomena di masyarakat Indonesia. Dengan diketahui pentingnya kesantunan berbahasa dalam bahasa Indonesia, faktor-faktor yang dapat memengaruhi kesantunnan berbahasa serta kesantunan pragmatik tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia maka masyarakat pemakai bahasa dalam berkomunikasi dengan saksama dapat dengan mudah dan cepat menanggapi atau memahami maksud tuturannya.  Suatu proses berbahasa dikatakan berjalan dengan baik, apabila makna yang disampaikan oleh penutur dapat diresapi oleh lawan tutur sehingga tidak menimbulkan salah penafsiran. Sebaliknya, suatu proses berbahasa dikatakan tidak berjalan dengan baik, apabila makna yang disampaikan penutur diresapi dan dipahami oleh lawan tutur tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh penutur. Tata cara berbahasa sangat penting diperhatikan oleh para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi.    Faktor-faktor yang memengaruhi kesantunan berbahasa seseorang sangat       menentukan tingkat kesantunan tuturan orang tersebut sehingga  hal ini perlu dibenahi agar pemakai bahasa tidak terus mengabaikan faktor itu.. Kesantunan ujaran dalam tuturan dapat digunakan melalui pragmatik tuturan imperatif. Dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit orang yang tidak mengetahui bahwa kesantunan berbahasa dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu dan dapat digunakan melalui pragmatik tuturan imperatif. Maka dari itu, dengan mengetahui tata cara bertutur diharapkan orang lebih bisa memahami cara menyampaikan pesan atau informasi melaui ujaran-ujaran yang santun. Oleh sebab itu, penulisan makalah ini bertujuan untuk mengarahkan pengguna atau pemakai bahasa  dalam berkomunikasi atau melakukan aktivitas tindak tutur agar mampu mengungkapkan makna dan maksud tuturannya tersebut secara jelas dengan memperhatikan kesantunan pragmatik imperatif dalam bahasa Indonesias sehingga tidak menimbulkan perselisihan diantara pihak penutur dan petutur.

PEMBAHASAN
1.      Pentingnya Kesantunan Berbahasa dalam Bahasa Indonesia
Ketika berkomunikasi dengan mitra tutur, penutur harus menjalin interaksi yang baik melalui berbagai macam tuturan. Agar penutur dapat memahami berbagai macam tuturan, maka ia harus menguasai berbagai seluk-beluk komunikasi yang baik. Salah satunya adalah dengan mengunakan bahasa yang santun. Bahasa pada dasarnya berfungsi sebagai alat komunikasi untuk saling bertukar informasi dan juga  menjadi perekat hubungan antara pembicara dan pendengar. Untuk dapat merekatkan hubungan antara pembicara dan pendengar dalam suatu peristiwa tutur, penutur dan petutur diharapkan menggunakan bahasa yang santun. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Dengan menggunakan bahasa yang santun kemungkinan terjadinya konflik akan semakin kecil. Ketika seseorang melakukan tindak tutur yang baik dan benar, artinya seseorang yang melakukan suatu tuturan tersebut  tidak melukai lawan bicaranya, maka dapat dipastikan bahwa  proses berkomunikasi akan berjalan dengan lancar. Konteks dalam suatu tindak tutur memiliki peran yang sangat penting.
           Rahardi (2012 : 9) mengatakan “di dalam ilmu pragmatik, bahasa diteliti tidak lepas dan harus sesuai dengan konteks bahasa yang dimaksud. Bahasa dan konteks dalam pragmatik menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan”.  Penilaian kesantunan berbahasa yaitu bagaimana kita bertutur dan dengan siapa kita bertutur. Hakikatnya kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosioalisasi di masyarakat dengan penggunaan, pemilihan kata yang baik dengan memerhatikan di mana, kapan, kepada siapa, dan dengan tujuan apa kita berbicara secara santun. Budaya Indonesia kita menilai berbicara dengan menggunakan bahasa yang santun akan memperlihatkan sejatinya kita sebagai manusia yang beretika, berpendidikan dan berbudaya. Kesantunan berbahasa dapat dilakukan karena adanya dorongan oleh sikap menghargai dan sikap hormat terhadap pihak lain sehingga dengan adanya sikap saling menghargai dan saling menghormati pihak lain dalam situasi pertuturan akan menghasilkan komunikasi yang efektif sesuai dengan yang dikehendaki. Oleh sebab itu, kesantunan berbahasa dalam tindak tutur sangat memiliki kedudukan yang utama dan penting dalam berkomunikasi karena kepribadian seseorang akan tercermin melalui bahasa yang diujarkan.
2.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesantunan Berbahasa
Dalam berkomunikasi kita tidak semata-mata menyampaikan suatu informasi atau pesan terhadap seseorang tetapi dibalik penyampaian pesan tersebut ada etika kita sebagai masyarakat pemakai bahasa . bagaimana kita memiliki dan menyadari cara atau beretuka ketika berkomunikasi agar komunikator dan komunikan tidak terjadi perselisihan. Untuk  menghindari terjadinya perselisihan tersebut kita harus dapat memahami keadaan lingkungan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang harus dapat bertika dalam berbahsa karena kesantunan berbahasa sangat mempengaruhi situasi komunikasi tersebut.Oleh karena itu, berikut akan dijelaskan mengenai faktor penentu yang berpegaruh kepada kesantunan berbahasa masyarakat atau pemakai bahasa.

1.    Konteks Situasi
Kesantunan merupakan fenomena pragmatik, maka ia dipengaruhi oleh konteks. Masyarakat tidak pernah terlepas dari peristiwa tutur yang tidak terikat oleh waktu, tempat sitasi artinya peristiwa tutur dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Waktu, tempat dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan adanya penggunaan variasi bahasa, hal ini sangat berkaitan dengan kesantunan berbahasa, misalnya berbicara dengan teman dan berbicara dengan dosen dalam situasi resmi maka hal ini sangat perlu memperhatikan kesantunan berbahasa karena bahasa yang kita gunakan dengan dua konteks situasi yang berbeda tersebut harus diperhatikan agar tidak muncul perkataan bahwa orang yang bersangkutan tidak memiliki etika dan tidak santun berbahasa bahkan tidah mengenal lawan tuturnya.  Kemudian contoh lain, yaitu ketika seseorang hendak  melakukan peristiwa tutur yang berkenaan dengan “cara meminta”. Berikut adalah contoh tuturan yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda.
1.      Datang ke rumah saya! (tidak sopan)
2.      Datanglah ke rumah saya!
3.      Silakan (anda) datang ke rumah saya!
4.      Sudilah kiranya anda datang ke rumah saya.
5.      Kalau tidak keberatan, sudilah anda datang ke rumah saya. (sopan)
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula, tuturan yang diutarakan secara tidak langsung biasanya lebih sopan daripada dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
2.    Konteks Sosial  
 Fishman (dalam Abdul Chaer,1995:51) mengatakan “adanya tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi kebangsawanan (kalau ada),dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula tetapi ini tidak mutlak. Bisa saja taraf pendidikannya lebih baik namun, taraf perekonomiannya kurang baik. Sebaliknya, yang memiliki taraf pendidikan kurang tetapi memiliki taraf perekonomian yang baik”. Adanya hubungan yang jelas antara  konteks sosial dan vasiasi bahasa yang diucapkan dapat mempengaruhi ingkat kesantunan seseorang untuk bertutur. Pilihan atas formulasi kesantunan tergantung pada jarak sosial dan kekuasaan diantara kedua pihak. Apabila terdapat jarak sosial, kesantunan dikodekan dan terdapat banyak ketidaklangsungan ujaran. Ketika jarak sosial berkurang, berkurang pula negatif politeness dan ketidaklangsungan. Variabel yang menentukan jarak sosial adalah tingkat keakraban, perbedaan status, peran, usia, gender, pendidikan, kelas, pekerjaan dan etnisitas.
3.     Konteks Budaya 
Bahasa bagian dari kebudayaan. Kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interakasi manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu.  Silzer (dalam Abdul Chaer,1995:218) mengatakan “bahasa dan budaya merupakan dua buah fenomena yang terikat yang tidak dapat dipisahkan”. Bahasa bukan hanya menentukan corak budaya tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia, dan oleh karena itu,mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiranya yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tecermin pada sikap dan budaya penuturnya.


3.      Kesantunan Pragmatik Tuturan Imperatif dalam Bahasa Indonesia
Rahardi ( 2012:134) mengatakan “ makna pragmatik imperatif di dalam bahasa Indonesia dapat diwujudkan dengan tuturan yang bermacam-macam”. Makna pragmatik imperatif, itu kebanyakan tidak diwujudkan dengan tuturan imperatif melainkan dengan tuturan nonimperatif. Kemudian makna pragmatic imperatif banyak diungkapkan dalam tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Penggunaan tuturan nonimperatif biasanya mengandung unsure ketidaklangsungan, dengan demikian,dalam tuturan-tuturan nonimperatif itu terkandung aspek kesantunan pragmatic imperatif. Penggunaan kesantunan berbahasa hanya diketahui oleh masyarakat pada umumnya yang ditinjau  atau dipandang dari segi sosiolinguistiknya saja, artinya hanya memperhatikan kesantunan dengan siapa, dimana, dan bagaimana peristiwa tutur itu berlangsung. Akan tetapi, masyarakat tidak mengetahui bahwa ada  prinsip-prinsip yang menekankan bagaimana makna pesan atau setiap ujaran-ujaran yang disampaikannya. Dalam pengajaran bahasa Indonesia mengenal ilmu pragmatik , yaitu ilmu yang menelaah makna menurut tafsiran pendengar. Oleh karena itu, selain memperhatikan kesantunan berbahasa dalam bahasa Indonesia maka orang juga perlu memperhatikan kesantunan pragmatik tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa makna pragmatik imperatif banyak diungkapkan dalam tuturan deklaratif dan tuturan interogatif, berikut akan diuraikan secara lebih rinci.
a.    Kesantunan Pragmatik dalam tuturan Deklaratif
Kesantunan linguistik tuturan imperatif dapat didefinisikan pada tuturan imperatif begitu pula dengan kesantunan pragmati dapat juga didefinisikan di dalam tuturan deklaratif. Dalam hal ini, kesantunan tuturan deklaratif dan tuturan interogatif, secara konvensional dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra tutur melakukan sesuatu. Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah yang yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk bertanya atau memerintah atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Kesantunan pragmatik imperatif pada tuturan deklaratif dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif suruhan, ajakan, permohonan, persilaan, dan larangan. Di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya, penutur cenderung menggunakan tuturan nonimperatif untuk menyatakan makna pragmatik imperatif. Berikut akan diuraikan contoh jenis tuturan deklaratif yang menyatakan makna imperatif yang sudah disebut di atas.
1.       “ Acara akan segera dimulai, hadirin dipersilakan segera masuk ruang dan menempati tempat duduk yang telah disediakan”.(makna pragmatik imperatif persilaan).
2.      “Dilarang membuang sampah di sini”.( makna pragmatik imperatif larangan).
Dari beberapa contoh di atas, dapat dikatakan bahwa kegiatan bertutur yang diwujudkan dalam berbagai tuturan yang berkontruksi deklaratif sesungguhnya banyak memiliki ciri ketidaklangsungan sangat tinggi karena tuturannya itu mengandung maksud-maksud kesantunan. Ujaran-ujaran dalam tuturan yang diujarkan atau diungkapkan dengan menggunakan tuturan yang berkontruksi deklaratif maka makna ujaran tersebut berkesan lebih santun.  

b.    Kesantunan Pragmatik Imperatif dalam Tuturan Interogatif
Jika bagian atas sudah disampaikan bahwa makna pragmatik imperatif dapat diwujudkan dengan tuturan deklaratif, hal yang sama ternyata banyak ditemukan pula pada tuturan-tuturan yang berkontruksi interogatif. Digunakannya tuturan interogatif untuk menyatakan makana pragmatic impertif itu, dapat mengandung makna ketidaklangsungan yang cukup besar. Hal ini dapat diwujudkan dengan berbagai bentuk tuturan interogatif yang menyatakan suatu makna tuturan antara lain: tuturan interogatif yang menyatakan makan pragmatik imperatif perintah, ajakan, permohonan, persilaan, dan larangan. Berikut akan diuraikan contoh jenis tuturan interogatif yang menyatakan makna imperatif yang telah dipaparkan di atas.
1.       “Mohon kiranya Bapak berkenan memberikan keringanan penyelesaian keuangan untuk semester ini”. (Tuturan interogatif menyatakan makna pragmatik imperatif permohonan).
2.      “ Sudah ditunggu Bapak-bapak penceramah yang lain. Apkah Bapak sudah siap menjadi penceramah pertama?” (Tuturan interogatif menyatakan makna pragmatik imperatif persilaan).
Dari masing-masing contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa  setiap tuturan tidak hanya dapat diungkapkan dengan tuturan impertaif, melainkan juga diungkapkan dengan tuturan interogatif. Seseorang akan dipandang memiliki pribadi yang halus dan baik dan santun jika sering menggunakan bentuk tuturan nonimperatif dalam menyatakan maksud imperatif suruhan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa maksud imperatif tuturan seseorang dapat menjadi lebih santun jika diungkapkan dengan tuturan interogatif.

PENUTUP
Kesantunan berbahasa dalam tindak tutur sangat memiliki kedudukan yang utama dan penting dalam berkomunikasi karena kepribadian seseorang akan tercermin melalui bahasa yang diujarkan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang harus dapat bertika dalam berbahsa karena kesantunan berbahasa sangat mempengaruhi situasi komunikasi tersebut, yakni konteks situasi, kontek sosial, dan konteks budaya.  makna pragmatik imperatif di dalam bahasa Indonesia dapat diwujudkan dengan tuturan yang bermacam-macam.  Makna pragmatik imperatif, itu kebanyakan tidak diwujudkan dengan tuturan imperatif melainkan dengan tuturan nonimperatif. Makna pragmatik imperatif banyak diungkapkan dalam tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Dengan adanya pembahasan tentang kesantunan berbahasa melalui tuturan imperatif, makalah ini hanyalah sebagian kecil materi dari materi yang ada. Dengan demikian, bagi pembaca yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan tentang kesantunan berbahasa melalui tuturan imperatif perlu lebih banyak sumber lagi untuk mengembangkan materi ini sebagai referensi. Materi ini hendaknya tidak hanya dijadikan teori semata, tetapi mampu dipraktikkan dalam setiap kegiatan tuturan dan komunikasi dalam kehidupan sehari- hari.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta:Rineka Cipta.
Rahardi, Kunjana. 2012a. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:PT. Gelora Aksara Pratama.
-------. 2012b. Sosiopragmatik.Jakarta:PT. Gelora Aksara Pratama.  

1 komentar: