KESANTUNAN BERBAHASA MELALUI PRAGMATIK TUTURAN
IMPERATIF
LUH JUNI SUSANTI
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN GANESHA
Abstrak
Pengguna bahasa saat ini sering kali
mengabaikan dan nampaknya kurang memerhatikan etika berbahasa, padahal
kenyataanya hal tersebut sangat memengaruhi sifat, keadaan, dan maksud serta
makna tuturan dari pihak penutur dan petutur tersebut. Kesantunan berbahasa
menjadi suatu hal yang penting untuk dibahas berkaitan dengan fenomena di
masyarakat Indonesia. Kesantunan berbahasa berkaitan dengan pragmatik tuturan. Dalam
kajian pragmatik, data kebahasaan perlu mempertimbangkan dimensi tempat dan waktu
sebab kedua dimensi tersebut sangat berhubungan dengan maksud-maksud penutur
dalam menuturkan entitas kebahasaan tertentu. Kesantunan
berbahasa dalam tindak tutur sangat memiliki kedudukan yang utama dan penting
dalam berkomunikasi karena kepribadian seseorang akan tercermin melalui bahasa
yang diujarkan. Faktor- faktor yang
dapat mempengaruhi bagaimana seseorang dapat beretika dalam berbahasa, yakni konteks
situasi, sosial, dan budaya. Makna pragmatik imperatif banyak diungkapkan dalam
tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Jadi, kesantunan berbahasa melalui
pragmatik tuturan imperatif sangat diperlukan. Semakin tidak langsung suatu
ujaran disampaikan, maka semakin tinggi
kesantunan berbahasa orang tersebut.
Kata kunci: Kesantunan, bahasa, pragmatik.
Abstract
Nowadays, the language users often
ignore and seem less attentive of the language etics; even in fact those things
really influence characteristics, condition and aims as well as expression
meaning from the speakers and listeners. The language politeness becomes an
important thing to be discussed related to phenomenon in Indonesia country. The
language politeness is related to expression pragmatic, in the pragmatic
discussion, the language data need to consider place and time dimension since
both of them really related to the aims of the speakers in speaking the
language entity. The language politeness in speaking action really has main
position and important in communication because one personality will be
symbolized through the spoken language. The factors which can influence how one
can act etics in the language are situation, social and culture. The imperative
pragmatic meaning is mostly expressed in declarative and interrogative. So, the
language politeness through descendant imperative and interrogative is really
needed. The higher of direct speech is expressed, so the higher is one language
politeness.
Keywords:
politeness, language, pragmatic.
PENDAHULUAN
Dalam
kajian pragmatik data kebahasaan perlu adanya mempertimbangkan dimensi tempat
dan dimensi waktu sebab kedua dimensi
tersebut sangat berhubungan dengan maksud-maksud penutur dalam menuturkan
entitas kebahasaan tertentu. Selain memperhitungkan, memerhatikan, dan
mempertimbangkan balutan-balutan konteks yang melingkupi dan mewadahi entitas kebahasaan
tersebut maka penutur juga perlu memperhatikan kesantunan berbahasa karena hal
ini sifatnya resiprokal. Kesantuntan berbahasa merupakan etika seseorang ketika berkomunikasi dengan saksama.
Rahardi (2012: 134) mengatakan “makna pragmatik imperatif di dalam bahasa
Indonesia dapat diwujudkan dengan tuturan yang bermacam-macam. Makna pragmatik
imperatif, itu kebanyakan tidak diwujudkan dengan tuturan imperatif melainkan
dengan tuturan nonimperatif. Makna pragmatik imperatif diungkapkan dalam
tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Penggunaan tuturan nonimperatif
untuk menyatakan makna pragmatik imperatif itu biasanya mengandung unsur
ketidaklangsungan”. Dengan demikian, dalam tuturan-tuturan nonimperatif itu
terkandung aspek kesantunan pragmatik imperatif. Pengguna bahasa saat ini
sering kali mengabaikan dan nampaknya kurang memerhatikan etika berbahasa, padahal
kenyataanya hal tersebut sangat
memengaruhi sifat, keadaan, dan maksud serta makna tuturan dari pihak penutur
dan petutur tersebut. Kesantunan berbahasa menjadi suatu hal yang penting untuk
dibahas berkaitan dengan fenomena di masyarakat Indonesia. Dengan diketahui
pentingnya kesantunan berbahasa dalam bahasa Indonesia, faktor-faktor yang
dapat memengaruhi kesantunnan berbahasa serta kesantunan pragmatik tuturan
imperatif dalam bahasa Indonesia maka masyarakat pemakai bahasa dalam
berkomunikasi dengan saksama dapat dengan mudah dan cepat menanggapi atau
memahami maksud tuturannya. Suatu proses berbahasa dikatakan berjalan
dengan baik, apabila makna yang disampaikan oleh penutur dapat diresapi oleh
lawan tutur sehingga tidak menimbulkan salah penafsiran. Sebaliknya, suatu
proses berbahasa dikatakan tidak berjalan dengan baik, apabila makna yang
disampaikan penutur diresapi dan dipahami oleh lawan tutur tidak sesuai dengan
yang dikehendaki oleh penutur. Tata cara berbahasa sangat penting
diperhatikan oleh para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi
kelancaran komunikasi.
Faktor-faktor yang memengaruhi
kesantunan berbahasa seseorang sangat menentukan tingkat kesantunan tuturan orang
tersebut sehingga hal ini perlu dibenahi
agar pemakai bahasa tidak terus mengabaikan faktor itu.. Kesantunan ujaran
dalam tuturan dapat digunakan melalui pragmatik tuturan imperatif. Dalam
kehidupan sehari-hari tidak sedikit orang yang tidak mengetahui bahwa
kesantunan berbahasa dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu dan dapat
digunakan melalui pragmatik tuturan imperatif. Maka dari itu, dengan mengetahui
tata cara bertutur diharapkan orang lebih bisa memahami cara menyampaikan pesan
atau informasi melaui ujaran-ujaran yang santun. Oleh sebab itu, penulisan makalah ini bertujuan untuk
mengarahkan pengguna atau pemakai bahasa
dalam berkomunikasi atau melakukan aktivitas tindak tutur agar mampu
mengungkapkan makna dan maksud tuturannya tersebut secara jelas dengan
memperhatikan kesantunan pragmatik imperatif dalam bahasa Indonesias sehingga
tidak menimbulkan perselisihan diantara pihak penutur dan petutur.
PEMBAHASAN
1.
Pentingnya
Kesantunan Berbahasa dalam Bahasa Indonesia
Ketika berkomunikasi dengan mitra
tutur, penutur harus menjalin interaksi yang baik melalui berbagai macam tuturan.
Agar penutur dapat memahami berbagai macam tuturan, maka ia harus menguasai berbagai seluk-beluk
komunikasi yang baik. Salah satunya adalah dengan mengunakan bahasa yang
santun. Bahasa
pada dasarnya berfungsi sebagai alat komunikasi untuk saling bertukar informasi
dan juga menjadi perekat hubungan antara
pembicara dan pendengar. Untuk dapat merekatkan hubungan antara pembicara dan
pendengar dalam suatu peristiwa tutur, penutur dan petutur diharapkan
menggunakan bahasa yang santun. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang
ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga
kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Dengan
menggunakan bahasa yang santun kemungkinan terjadinya konflik akan semakin kecil.
Ketika
seseorang melakukan tindak tutur yang baik dan
benar, artinya seseorang yang melakukan
suatu tuturan tersebut tidak melukai
lawan bicaranya, maka
dapat dipastikan bahwa proses
berkomunikasi akan berjalan dengan lancar. Konteks dalam
suatu tindak tutur memiliki peran
yang sangat penting.
Rahardi (2012 : 9) mengatakan “di dalam ilmu
pragmatik, bahasa diteliti tidak lepas dan harus sesuai dengan konteks bahasa
yang dimaksud. Bahasa dan konteks dalam pragmatik menjadi satu kesatuan yang
tidak dapat
dipisahkan”. Penilaian kesantunan
berbahasa yaitu bagaimana kita bertutur dan dengan siapa kita bertutur.
Hakikatnya kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosioalisasi di
masyarakat dengan penggunaan, pemilihan kata yang baik dengan memerhatikan di
mana, kapan, kepada siapa, dan dengan tujuan apa kita berbicara secara santun. Budaya
Indonesia kita menilai berbicara dengan menggunakan bahasa yang santun akan
memperlihatkan sejatinya kita sebagai manusia yang beretika, berpendidikan dan
berbudaya. Kesantunan berbahasa dapat dilakukan karena adanya dorongan oleh
sikap menghargai dan sikap hormat terhadap pihak lain sehingga dengan adanya
sikap saling menghargai dan saling menghormati pihak lain dalam situasi
pertuturan akan menghasilkan komunikasi yang efektif sesuai dengan yang
dikehendaki. Oleh sebab itu, kesantunan berbahasa dalam tindak tutur sangat
memiliki kedudukan yang utama dan penting dalam berkomunikasi karena
kepribadian seseorang akan tercermin melalui bahasa yang diujarkan.
2. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kesantunan Berbahasa
Dalam berkomunikasi kita tidak semata-mata menyampaikan
suatu informasi atau pesan terhadap seseorang tetapi dibalik penyampaian pesan
tersebut ada etika kita sebagai masyarakat pemakai bahasa . bagaimana kita
memiliki dan menyadari cara atau beretuka ketika berkomunikasi agar komunikator
dan komunikan tidak terjadi perselisihan. Untuk
menghindari terjadinya perselisihan tersebut kita harus dapat memahami
keadaan lingkungan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana
seseorang harus dapat bertika dalam berbahsa karena kesantunan berbahasa sangat
mempengaruhi situasi komunikasi tersebut.Oleh karena itu, berikut akan
dijelaskan mengenai faktor penentu yang berpegaruh kepada kesantunan berbahasa
masyarakat atau pemakai bahasa.
1. Konteks Situasi
Kesantunan
merupakan fenomena pragmatik, maka ia dipengaruhi oleh konteks. Masyarakat
tidak pernah terlepas dari peristiwa tutur yang tidak terikat oleh waktu,
tempat sitasi artinya peristiwa tutur dapat terjadi dimana saja dan kapan saja.
Waktu, tempat dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan adanya penggunaan
variasi bahasa, hal ini sangat berkaitan dengan kesantunan berbahasa, misalnya
berbicara dengan teman dan berbicara dengan dosen dalam situasi resmi maka hal
ini sangat perlu memperhatikan kesantunan berbahasa karena bahasa yang kita
gunakan dengan dua konteks situasi yang berbeda tersebut harus diperhatikan
agar tidak muncul perkataan bahwa orang yang bersangkutan tidak memiliki etika
dan tidak santun berbahasa bahkan tidah mengenal lawan tuturnya. Kemudian contoh lain, yaitu ketika seseorang
hendak melakukan peristiwa tutur yang
berkenaan dengan “cara meminta”. Berikut adalah contoh tuturan yang memiliki
tingkat kesopanan yang berbeda.
1. Datang ke rumah saya! (tidak sopan)
2. Datanglah ke rumah saya!
3. Silakan (anda) datang ke rumah saya!
4. Sudilah kiranya anda datang ke rumah
saya.
5. Kalau tidak keberatan, sudilah anda
datang ke rumah saya. (sopan)
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan
seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada
lawan bicaranya. Demikian pula, tuturan yang diutarakan secara tidak langsung
biasanya lebih sopan daripada dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
2. Konteks Sosial
Fishman (dalam Abdul Chaer,1995:51) mengatakan
“adanya tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi:
pertama, dari segi kebangsawanan (kalau ada),dan kedua, dari segi kedudukan
sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang
dimiliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan
untuk memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula tetapi ini tidak
mutlak. Bisa saja taraf pendidikannya lebih baik namun, taraf perekonomiannya
kurang baik. Sebaliknya, yang memiliki taraf pendidikan kurang tetapi memiliki
taraf perekonomian yang baik”. Adanya hubungan yang jelas antara konteks sosial dan vasiasi bahasa yang
diucapkan dapat mempengaruhi ingkat kesantunan seseorang untuk bertutur. Pilihan
atas formulasi kesantunan tergantung pada jarak sosial dan kekuasaan diantara
kedua pihak. Apabila terdapat jarak sosial, kesantunan dikodekan dan terdapat
banyak ketidaklangsungan ujaran. Ketika jarak sosial berkurang, berkurang pula
negatif politeness dan ketidaklangsungan. Variabel yang menentukan jarak sosial
adalah tingkat keakraban, perbedaan status, peran, usia, gender, pendidikan,
kelas, pekerjaan dan etnisitas.
3. Konteks
Budaya
Bahasa bagian dari kebudayaan. Kebudayaan merupakan sistem
yang mengatur interakasi manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang
berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu. Silzer (dalam Abdul Chaer,1995:218) mengatakan
“bahasa dan budaya merupakan dua buah fenomena yang terikat yang tidak dapat
dipisahkan”. Bahasa bukan hanya menentukan corak budaya tetapi juga menentukan
cara dan jalan pikiran manusia, dan oleh karena itu,mempengaruhi pula tindak
lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa
lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiranya yang berbeda pula. Jadi,
perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari
perbedaan bahasa atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama
sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia,
ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tecermin pada sikap dan budaya
penuturnya.
3.
Kesantunan Pragmatik Tuturan
Imperatif dalam Bahasa Indonesia
Rahardi ( 2012:134) mengatakan “
makna pragmatik imperatif di dalam bahasa Indonesia dapat diwujudkan dengan
tuturan yang bermacam-macam”. Makna pragmatik imperatif, itu kebanyakan tidak
diwujudkan dengan tuturan imperatif melainkan dengan tuturan nonimperatif.
Kemudian makna pragmatic imperatif banyak diungkapkan dalam tuturan deklaratif
dan tuturan interogatif. Penggunaan tuturan nonimperatif biasanya mengandung
unsure ketidaklangsungan, dengan demikian,dalam tuturan-tuturan nonimperatif
itu terkandung aspek kesantunan pragmatic imperatif. Penggunaan kesantunan
berbahasa hanya diketahui oleh masyarakat pada umumnya yang ditinjau atau dipandang dari segi sosiolinguistiknya
saja, artinya hanya memperhatikan kesantunan dengan siapa, dimana, dan
bagaimana peristiwa tutur itu berlangsung. Akan tetapi, masyarakat tidak
mengetahui bahwa ada prinsip-prinsip
yang menekankan bagaimana makna pesan atau setiap ujaran-ujaran yang
disampaikannya. Dalam pengajaran bahasa Indonesia mengenal ilmu pragmatik ,
yaitu ilmu yang menelaah makna menurut tafsiran pendengar. Oleh karena itu,
selain memperhatikan kesantunan berbahasa dalam bahasa Indonesia maka orang
juga perlu memperhatikan kesantunan pragmatik tuturan imperatif dalam bahasa
Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa makna pragmatik
imperatif banyak diungkapkan dalam tuturan deklaratif dan tuturan interogatif,
berikut akan diuraikan secara lebih rinci.
a. Kesantunan Pragmatik dalam tuturan
Deklaratif
Kesantunan linguistik tuturan
imperatif dapat didefinisikan pada tuturan imperatif begitu pula dengan
kesantunan pragmati dapat juga didefinisikan di dalam tuturan deklaratif. Dalam
hal ini, kesantunan tuturan deklaratif dan tuturan
interogatif, secara konvensional dituturkan untuk menyatakan suatu informasi,
menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra tutur melakukan sesuatu. Kesesuaian
antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah yang yang merupakan
tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk
bertanya atau memerintah atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara
tidak konvensional, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Kesantunan pragmatik imperatif pada
tuturan deklaratif dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu tuturan
deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif suruhan, ajakan,
permohonan, persilaan, dan larangan. Di dalam kegiatan bertutur yang
sesungguhnya, penutur cenderung menggunakan tuturan nonimperatif untuk
menyatakan makna pragmatik imperatif. Berikut akan diuraikan contoh jenis
tuturan deklaratif yang menyatakan makna imperatif yang sudah disebut di atas.
1. “ Acara akan segera dimulai, hadirin
dipersilakan segera masuk ruang dan menempati tempat duduk yang telah
disediakan”.(makna pragmatik imperatif persilaan).
2. “Dilarang
membuang sampah di sini”.( makna pragmatik imperatif larangan).
Dari
beberapa contoh di atas, dapat dikatakan bahwa kegiatan bertutur yang
diwujudkan dalam berbagai tuturan yang berkontruksi deklaratif sesungguhnya
banyak memiliki ciri ketidaklangsungan sangat tinggi karena tuturannya itu
mengandung maksud-maksud kesantunan. Ujaran-ujaran dalam tuturan yang diujarkan
atau diungkapkan dengan menggunakan tuturan yang berkontruksi deklaratif maka
makna ujaran tersebut berkesan lebih santun.
b. Kesantunan
Pragmatik Imperatif dalam Tuturan Interogatif
Jika
bagian atas sudah disampaikan bahwa makna pragmatik imperatif dapat diwujudkan
dengan tuturan deklaratif, hal yang sama ternyata banyak ditemukan pula pada
tuturan-tuturan yang berkontruksi interogatif. Digunakannya tuturan interogatif
untuk menyatakan makana pragmatic impertif itu, dapat mengandung makna
ketidaklangsungan yang cukup besar. Hal ini dapat diwujudkan dengan berbagai
bentuk tuturan interogatif yang menyatakan suatu makna tuturan antara lain:
tuturan interogatif yang menyatakan makan pragmatik imperatif perintah, ajakan,
permohonan, persilaan, dan larangan. Berikut akan diuraikan contoh jenis tuturan interogatif yang
menyatakan makna imperatif yang telah dipaparkan di atas.
1. “Mohon kiranya Bapak berkenan memberikan
keringanan penyelesaian keuangan untuk semester ini”. (Tuturan interogatif
menyatakan makna pragmatik imperatif permohonan).
2. “ Sudah ditunggu Bapak-bapak
penceramah yang lain. Apkah Bapak sudah siap menjadi penceramah pertama?”
(Tuturan interogatif menyatakan makna pragmatik imperatif persilaan).
Dari masing-masing contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap tuturan tidak hanya dapat diungkapkan
dengan tuturan impertaif, melainkan juga diungkapkan dengan tuturan
interogatif. Seseorang akan dipandang memiliki pribadi yang halus dan baik dan
santun jika sering menggunakan bentuk tuturan nonimperatif dalam menyatakan
maksud imperatif suruhan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa maksud
imperatif tuturan seseorang dapat menjadi lebih santun jika diungkapkan dengan
tuturan interogatif.
PENUTUP
Kesantunan berbahasa dalam tindak tutur sangat memiliki
kedudukan yang utama dan penting dalam berkomunikasi karena kepribadian
seseorang akan tercermin melalui bahasa yang diujarkan. Ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang harus dapat bertika dalam berbahsa
karena kesantunan berbahasa sangat mempengaruhi situasi komunikasi tersebut,
yakni konteks situasi, kontek sosial, dan konteks budaya. makna pragmatik imperatif di dalam bahasa
Indonesia dapat diwujudkan dengan tuturan yang bermacam-macam. Makna pragmatik imperatif, itu kebanyakan
tidak diwujudkan dengan tuturan imperatif melainkan dengan tuturan nonimperatif.
Makna pragmatik imperatif banyak diungkapkan dalam tuturan deklaratif dan
tuturan interogatif. Dengan adanya pembahasan tentang
kesantunan berbahasa melalui tuturan imperatif, makalah ini hanyalah sebagian
kecil materi dari materi yang ada. Dengan demikian, bagi pembaca yang ingin
memperdalam ilmu pengetahuan tentang kesantunan berbahasa melalui tuturan
imperatif perlu lebih banyak sumber lagi untuk mengembangkan materi ini sebagai
referensi. Materi ini hendaknya tidak hanya dijadikan teori semata, tetapi
mampu dipraktikkan dalam setiap kegiatan tuturan dan komunikasi dalam kehidupan
sehari- hari.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta:Rineka Cipta.
Rahardi,
Kunjana. 2012a. Pragmatik Kesantunan
Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:PT. Gelora Aksara Pratama.
-------.
2012b. Sosiopragmatik.Jakarta:PT.
Gelora Aksara Pratama.
Terima kasih sharing ilmunya
BalasHapus